Berita Ekonomi Global Berita Ekonomi Global | Perkembangan Perbankan SyariahEkonomi Global: Melihat Rapor Perbankan Syariah

Thursday 7 October 2010

Melihat Rapor Perbankan Syariah

Perbankan syariah nasional kian cemerlang. Sebagian besar bank nasional papan atas sudah membentuk unit usaha syariah (UUS). Ketika UUS telah matang, maka bergegas dipisah (spin off) dari unit konvensional menjadi bank umum syariah (BUS).

Sebut saja, Divisi Usaha Syariah BNI yang kini telah menjadi BNI Syariah sejak Juni 2010. Bagaimana rapor perbankan syariah per Agustus 2010? Statistik Perbankan Syariah (SPS), Agustus 2010 yang terbit 1 Oktober 2010 menunjukkan pembiayaan tahunan (year on year/yoy) tumbuh 37,34 persen dari Rp43,89 triliun per Agustus 2009 menjadi Rp60,28 triliun per Agustus 2010. Dana pihak ketiga (DPK) ternyata mampu tumbuh lebih subur yakni 38,51 persen dari Rp44,02 triliun menjadi Rp60,97 triliun.

Pertumbuhan demikian itu mendorong financing to deposit ratio (FDR) merosot tipis dari 99,71 persen per Agustus 2009 menjadi 98,86 persen per Agustus 2010. FDR itu menyiratkan bahwa kemampuan perbankan syariah nasional dalam mengemban fungsinya sebagai intermediasi keuangan sedikit menurun meski termasuk FDR ideal 85-110 persen.

Rasio pembiayaan bermasalah (nonperforming financing/NPF) membaik dari 5,61 persen per Agustus 2009 menjadi 4,10 persen per Agustus 2010. Walaupun NPF ini masih jauh dari ambang batas lima persen, ini merupakan peringatan dini bagi perbankan syariah nasional untuk terus menerapkan manajemen risiko dengan dingin.

Hebatnya, perbankan syariah nasional baik BUS maupun UUS mampu meningkatkan laba tahun berjalan 1,64 persen dari Rp669 miliar menjadi Rp680 miliar.

Total aktiva pun meningkat tajam 37,06 persen dari Rp57,01 triliun menjadi Rp78,14 triliun. Sayangnya, peningkatan pencapaian laba dan perkembangan aset itu ternyata belum mampu mendongkrak imbal hasil total aset (return on assets/ROA).

ROA justru menipis dari 2,08 persen menjadi 1,64 persen meski di atas ambang batas 1,5 persen. Hingga Juli 2010 masih terdapat tiga dari tujuh BUS yang memiliki ROA sama atau di bawah 1,5 persen.

Bagaimana tingkat efisiensi yang tercermin pada rasio BOPO (rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional)? BOPO perbankan syariah nasional naik (artinya memburuk) dari 75,22 persen per Agustus 2009 menjadi 80,36 persen per Agustus 2010.

Dengan bahasa terang benderang, tingkat efisiensi makin menurun. Jangan lupa makin rendah tingkat efisiensi makin membebani modal. Lalu, bagaimana masa depan perbankan syariah nasional? Data tersebut menunjukkan rapor biru muda perbankan syariah nasional.

Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa perbankan syariah nasional bakal kian berkembang dan berbuah cukup manis. Coba amati saja perkembangan jaringan kantor. Jumlah BUS dari tiga buah dengan 304 kantor pada 2005 ketika perbankan syariah mulai tumbuh naik menjadi enam buah dengan 711 kantor pada Desember 2009. Jumlah BUS terus bertambah menjadi 10 buah dengan 1.111 kantor pada Agustus 2010.

Sementara itu, jumlah UUS dari 19 buah dengan 154 kantor pada 2005 menjadi 25 buah dengan 287 kantor pada Desember 2009. Jumlah itu makin berkembang menjadi 23 buah dengan 236 kantor pada Agustus 2010.

Demikian pula Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) bertambah dari 92 buah dengan 92 kantor pada 2005 menjadi 138 buah dengan 225 kantor pada Desember 2009. Jumlah tersebut terus bertambah menjadi 146 buah dengan 277 kantor pada Agustus 2010.

Tetapi sejatinya perbankan syariah masih memerlukan aneka obat kuat sebagai faktor kunci keberhasilan (key success factors). Apa saja? Mari kita simak satu demi satu.

Pertama, arsitektur perbankan syariah. Kini sudah waktunya bagi BI untuk meluncurkan Arsitektur Perbankan Syariah Indonesia (APSI). APSI akan menjadi kerangka dasar sistem perbankan syariah nasional yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan syariah nasional sebagaimana Arsitektur Perbankan Indonesia (API) bagi perbankan nasional konvensional.

APSI diperlukan sebagai pedoman masa depan yang akan disasar pada minimal panca sampai dengan satu dasawarsa ke depan. Dapat diduga, lima tahun mendatang perkembangan perbankan syariah nasional bakal makin gemerlap searah dengan perbaikan perekonomian nasional.

Kedua, sumber daya insani (SDI). Menurut prediksi BI, kebutuhan SDI perbankan syariah hingga 2011 mencapai 50 ribu-60 ribu orang (SINDO, 4 Oktober 2010). Untuk itu, BI wajib mendorong BUS dan UUS untuk meningkatkan kompetensi sekaligus kualitas SDI. Salah satu kiat yang strategis adalah dengan melatih SDM perbankan konvensional untuk menjadi SDI.

Mereka biasanya sudah menguasai perbankan sehingga tinggal dilengkapi dengan prinsip perbankan syariah. Model ini relatif lebih cepat dan praktis daripada harus mencetak SDI perbankan syariah dari lahir.

Ingat bahwa pengalaman merupakan modal yang tak terbeli untuk membentuk SDI yang berkompetensi tinggi. Peningkatan kompetensi itu sekaligus sebagai alat untuk membendung banjir pembajakan SDI perbankan syariah. Kiat lain yang manjur adalah dengan mengirim SDI untuk menimba ilmu di bank-bank Malaysia yang telah maju dalam perbankan syariah.

Ketiga, modal. Kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) menipis dari 14,99 persen per Agustus 2009 menjadi 14,66 persen per Agustus 2010. Namun, SPS mencatat bahwa hingga Juli 2010 baru dua dari 10 BUS yang memiliki CAR di atas 12 persen sisanya alias delapan BUS mempunyai CAR sama atau di bawah 12 persen. Data ini menyiratkan perbankan syariah masih membutuhkan suntikan dana segar.

Sungguh, modal merupakan bantal penyangga (buffer) untuk mampu menghadapi potensi risiko semua produk, jasa, dan aktivitas bisnis.

Dengan modal pas-pasan,BUS dicemaskan akan tergilas oleh BUS yang didukung sepenuhnya oleh bank asing. Tengok saja, Malayan Banking Bhd (Maybank), bank nomor terdepan di Malaysia, yang melakukan konversi Bank Maybank Indocorp menjadi Maybank Syariah sebagai BUS. Inilah tantangan sejati bagi perbankan syariah nasional di masa mendatang.
sumber: okezone.com

No comments:

Post a Comment